Malaikat Tak Bersayap

"aku saiki dewekan, mbok..," ratap seorang perempuan pada malam itu, kepada simbok, orang yang mengasuhku saat kecil dan sudah kami anggap keluarga.

Perempuan itu, ibuku. Seorang guru sekolah dasar yang sesekali membantu bapak menjahit baju dengan kepandaian menjahit yang diperolehnya di Sekolah Kepandaian Putri, dulu.

Di usia yang hampir sama denganku saat ini, malam itu beliau ditinggalkan oleh kekasih hatinya, bapakku. Sebagai bungsu lima bersaudara, hanya saya yang menemani waktu itu. Semua mas dan mbak di luar kota, dalam masa studi maupun kerja. Saya belum pernah melihat ibu sedemikian terpuruk, rapuh dan pilu. Sedari kecil saya mengenal sosok beliau sebagai pribadi yang tegas, cekatan dan mandiri.

Dengan gaji sebagai guru SD, ditambah pensiunan guru dari bapak, saya bisa katakan ibu saya punya kemampuan manajemen keuangan yang luar biasa. You know lah berapa gaji guru pada masa itu, 25 tahun yang lalu. Ditambah lagi, biaya pengobatan bapak yang tidak semuanya dicover asuransi kesehatan pemerintah dan biaya studi semua anaknya. Sepertinya SK pegawai ibu dan bapak lebih sering dititipkan ke bank daripada di rumah.

Ketika bapak sakit dan hingga sepeninggal bapak, berangkat mengajar dengan berjalan kaki sejauh 2 km PP bukanlah kendala bagi ibu. Mencari jalan tercepat dengan melompat pagar stasiun, juga sering dilakukan ibu. Menghemat sekitar 300 meter.

Apa nggak ada becak atau transportasi lain? Pasti ada. Tapi demikianlah ibu. Sehat menjadi alasannya, walaupun saya tahu, kebutuhan hidup yang tak kunjung putus adalah alasan sebenarnya. Dan alhamdulillah ibu dikaruniai kesehatan hingga saat ini. Aktivitas berjalan kaki juga tetap berlanjut hingga sekarang. Ke pengajian, ke masjid dan kegiatan kampung lainnya. Sangat jarang ibu bermanja meminta antar meski saya kebetulan sedang di rumah.

Kepergian pasangan untuk selama - lamanya tentu merupakan ujian terdahsyat bagi suami istri. Kehidupan menjadi tidak lengkap, bagai kaki yang hilang sebelah. Perlu kesiapan lahir maupun batin.

Ibu sering kali mengingatkan anak - anak perempuannya untuk mandiri secara materi, dengan punya penghasilan sendiri. Mungkin ibu belajar dari kehidupannya yang berjuang dari nol dengan bapak, dengan keterbatasan orang tua ibu maupun bapak dari segi materi. Dan juga dengan kepergian bapak yang sebelumnya diawali dengan sakit selama hampir 5 tahun terakhir yang memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Saya sangat setuju dengan prinsip itu. 1000% setuju. Itulah mengapa saya berjuang keras untuk hal tersebut. Mulai dengan kerja part time waktu kuliah dan give my best ketika berkesempatan kerja full time. Dan tentu saja meneladani cara beliau mengatur keuangan. Yang bisa saya tangkap, beliau tidak malu melakukan pekerjaan apapun yang penting halal, saving, investing dan tidak melupakan zakat serta sedekah.

Sering kali ibu bercerita masa kecilnya yang nekat bersekolah meski harus mencari biaya sendiri. Orang tuanya yang petani, simbah saya, tidak memprioritaskan pendidikan, terutama bagi anak - anak perempuannya.

Demi bisa bersekolah, beliau tidak malu menitip dagangan di sekolahan.Tidak malu ketika harus membantu tetangga, membuat makanan kecil, dengan upah 1 keping diponegoro ( berapa sen saya lupa ). Tidak malu juga ketika sekolah lanjutan ( setara SMP ) di Solo, tinggal dan menjadi tukang kerok di rumah Ibu Suhud, Ibunda Pak Amin Rais, demi mendapat tempat tinggal gratis. Bahkan bagi ibu, hal tersebut serupa berkah, karena banyak hal yang diajarkan, semangat yang ditularkan oleh Ibu Suhud Rais yang berpengaruh dalam hidup ibu.

Menjadi guru dan diangkat PNS bagi ibu adalah pencapaian yang sangat luar biasa dalam perjuangan hidupnya untuk mengenyam pendidikan. Meski saya dan kakak kakak tidak berkesempatan menjadi PNS seperti kehendak ibu, pada akhirnya beliau bisa menerima dan bersyukur atas apapun kami.

Perlu upaya ekstra keras untuk meyakinkan dan mendapat restu ibu ketika akan meninggalkan gaji dua digit perbulan saya, 2 tahun lalu. Restu itu demikian penting karena bagaimanapun ada andil ibu dalam hidup dan kehidupan saya. Dan hingga saat ini, saya masih berjuang mewujudkan komitmen saya saat meminta restu tersebut.

Kini, dengan 75 tahun yang dimilikinya, dengan sedemikian banyak aktivitas yang dijalaninya, saya hanya memohon dengan kerendahan hati kepada Tuhan, sekiranya menjaga ibu untuk tetap sehat, mendekatkan kebaikan di sekelilingnya, menjauhkan beliau dari segala keburukan dan kejahatan..aamiin

Selamat Ulang Tahun, ibu..
Malaikat Tak Bersayapku..

( 12 November )






Komentar

Postingan Populer