Pernah Badminton

*ilustrasi*
Halaman rumah orang tua saya, cukup luas, pada masa itu. Masa kecil saya.

Warga kampung berinisiatif untuk membuat lapangan bulutangkis di lahan yang bisa dibilang hanya tinggal dua rumah yang punya halaman cukup luas di kampung kami. Satu lagi di RT sebelah

Lapangan ala - ala, tanpa semen. Tetap tanah yang berdebu jika musim kemarau, dengan garis menggunakan bambu yang dicat putih..kemudian diganti menjadi batu bata yang ditanam membentuk pola garis lapangan bulutangkis.

Rumah orang tua saya cukup seram, diapit dua sungai dan dua hutan bambu, sehingga lepas maghrib, tidak banyak yang melintas di depan rumah. Mungkin hanya orang - orang yang udah kepepet

Namun berbeda saat sore, menjelang jam 15.00, sehabis ashar. Orang sudah mulai berkumpul. Sebagian mengambil ember dan air dari sumur kami. Bergotong royong mereka menyirami halaman sepetak, yang menjadi ajang "pertempuran" nanti.

Sebutlah Pak Nar.
Pekerja serabutan, mulai dari bikin kandang ayam, tukang batu, tukang kayu dan terakhir adalah membantu istri, yang kami panggil "mboke", berjualan nasi gudang ( urap ).
Beliau asli Gunung Kidul. Tidak pernah mengenal bulu tangkis ( kami menyebutnya badminton ). Tapi jangan salah, beliau lihai dan menjadi lawan yang diperhitungkan dalam "pertandingan sore hari" itu. Bakat alami mungkin ya

Ada lagi Mas Ii, pegawai toko baju. Mas Aman, takmir masjid. Mas Tamto yang sekarang jadi ketua RT. Mereka adalah sebagian pemain berbakat alami lainnya. Lihai dalam bola panjang maupun "luthikan" dekat net.  Asiknya lagi, yang "bisa" mau mengajari yang "kurang bisa", gratis. Saling pinjam meminjam raket. Bantingan untuk beli kock dan net. Yang penting semua senang. Ahhh indahnya

Kehebohan tiap sore, otomatis juga memancing rasa keingintahuan anak - anak untuk mencoba "namplek" sebisa - bisanya. Termasuk saya. Dan makhluk tak kasat mata, kata mbak saya, yang sering denger suara plak plek kalau tengah malam, seperti orang lagi maen badminton..

Raket waktu itu masih seadanya. Tidak semua memakai raket besi. Saya pakai raket kayu punya mas saya, yang dijepit kalau lagi nggak dipakai. Kalau nggak ada raket sama sekali, pakai tutup panci pun jadilah hehehe

Lomba badminton masih sering diadakan waktu itu. Baik di sekolahan, maupun antar kampung tiap 17an atau peringatan hari nasional lainnya.
Karena teman - teman tahu kalau tiap sore ada "laga badminton" dadakan di rumah saya atau mungkin pernah melihat saya sparing partner dengan mas saya, akhirnya suatu ketika saya didaftarkan untuk ikut kompetisi, mewakili sekolah. Padahal backhand saya masih kikuk. Smash saya kalau kata mas saya, nggak "nunjem". Pengembalian bola malah sering blunder karena mengundang lawan untuk nyemash. Pokoknya  asal namplek doang deh

Tingkat penyisihan group, alhamdulillah lancar. Ndilalah, sekolah kami menang dan masuk ke babak selanjutnya, tingkat kecamatan. Mainnya di gedung olah raga besar, milik pabrik karung goni di kota kecamatan kami. Sekarang apa kabar gedung olah raganya? Pabriknya udah lama tutup. Gedung olah raganya masih ada, mungkin masih dipakai, tapi bukan orang..hiiiiiii..( kidding hehehe )

Meski tiap siang sehabis pulang sekolah udah latihan bareng mas, tetep aja deg2an sampai hari H. Dan saya datang telat, di-diskualifikasi deh..hahahha..tragic.


Sekarang, apakah masih ada tanah yang masih cukup luas untuk sekedar bermain badminton di sekeliling rumah kita? Masihkah ada turnamen kecil - kecilan di sekolah atau antar kampung? Oiya, sekarang kan serba les. Banyak les ini itu sesuai keinginan kita. Tapi apakah semua punya dana? Apakah semua fasilitas terjangkau untuk semua kalangan?
Berapa banyak perusahaan yang peduli dengan fasilitas olah raga buat karyawan dan masyarakat sekitar seperti halnya pabrik di kota kecamatan kami waktu itu? atau seperti perusahaan yang sekarang lagi dihebohin..?

Udah ngapain aja kita untuk dunia bulutangkis yang kita tuntut untuk selalu juara?


Eh..btw sekarang siapa sih juara dunia bulutangkis?


Jogja
Always Jogja
Jogja lagi




Komentar

Postingan Populer