CSR : Brand Awareness, Brand Equity dan Kegiatan Sosial

Beberapa hari ini, berita Djarum mengundurkan diri sebagai perusahaan yang melakukan seleksi terhadap anak - anak yang memiliki bibit unggul sebagai pebulu tangkis tanah air melalui Djarum Foundation, cukup menyita perhatian publik.

Langkah panjang Djarum dalam dunia bulutangkis tanah air yang dimulai sejak berdirinya Perkumpulan Bulu Tangkis ( PB Djarum ) sebagai media berlatih bulutangkis bagi karyawan ( dan akhirnya masyarakat umum ) pada 1969, sayang sekali harus terhentikan.

Hal ini berawal dari tudingan KPAI bahwa ada muatan eksploitasi anak dalam kegiatan ini. Tagar #KamiBersamaKPAI dan #BubarkanKPAI bersaing dalam trending topik di dunia maya.

Keputusan ini diambil melalui serangkaian rapat koordinasi yang sebenarnya belum ada kesepakatan antara KPAI, Kemenpora, Kemenkopulhukam, Kemenko PMK, Perwakilan Pemda, KONI ,PBSI dan PB Djarum.

Dalam rapat tersebut, muncul tiga rekomendasi yaitu :
1. Kemenpora mengakomodasi regulasi perlindungan pembinaan atlet ( anak ) yang dilakukan sektor swasta
2. KPAI meminta agar atlet ( anak ) tidak menggunakan nama, kaos, logo dan ejaan Djarum di kawasan olah raga
3. Pemerintah Daerah menjamin kegiatan tersebut terselenggara dengan aman

Bagi saya pribadi, poin kedua mungkin agak "memberatkan" bagi perusahaan, walaupun saat ini rasanya tidak ada keberatan dari perusahaan dalam melakukan kegiatan CSR, seperti halnya yang dilakukan Djarum.

Bagi perusahaan, nilai biaya kegiatan CSR  mungkin tidak sepenuhnya dipandang sebagai cost, namun investasi. Dimana ada harapan tercipta brand awareness dan persepsi positif terhadap brand, sehingga diharapkan brand equity produk perusahaan cukup kuat untuk bersaing dengan kompetitor.

Sah - sah saja sebenarnya, namun perlu diingat, penting untuk melakukan kegiatan CSR sesuai dengan inti bisnis perusahaan, agar "nyambung" dan lebih mudah untuk membentuk ekuitas brand. Di samping itu perlu diperhatikan juga masalah etika. Jika hanya mengejar awareness dan mungkin selling dalam jangka pendek. lantas, apa bedanya dengan aktivitas marketing, selling dan advertising..?

Untuk itu, perlu rasanya membedakan logo yang akan digunakan untuk CSR dengan logo produk. Sesuai namanya, Corporate Social Responsibility ( CSR ), akan lebih elok jika logo corporate yang diangkat. Logo dan brand produk bisa dimasukkan dengan "soft" dalam kegiatan yang dilakukan.

Djarum, dengan nama corporate dan produk yang sama, mungkin agak susah dibedakan, meski untuk CSR rasanya mereka menggunakan foundation di belakangnya. Namun image Djarum sebagai brand produk sudah sangat kuat.

Sisi lain, rokok, bagaimanapun hingga saat ini masih menimbulkan pro dan kontra, baik dari sisi pandang etika, agama, kesehatan dan lainnya. Meski sudah dari jaman dahulu kala, iklan rokok menyertakan narasi "menyebabkan gangguan kesehatan dll", namun menurut penelitian  dalam skripsi saya tentang iklan two sided, hal ini tidak berpengaruh banyak. Mungkin karena merokok adalah kebutuhan psikologis. Hanya individu yang bersangkutan yang bisa memahami dan memutuskan tentang merokok atau tidak.

Apakah Djarum salah memilih bidang CSR dan target marketnya? Mungkin bisa kembali lagi ke prinsip CSR yang idealnya punya kaitan erat dengan bisnis inti perusahaan agar memudahkan dalam membentuk brand equity. Dan juga siapakah segmen dari produk perusahaan tersebut. Yang tidak kalah penting adalah menentukan partner/mitra yang terpercaya dan berkinerja baik.

Saat masih mengerjakan CSR di perusahaan telco, ada 3 pilar yang menjadi fokus yaitu kesehatan, pendidikan dan lingkungan hidup. Sejalan dengan dinamika bisnis, sampai dengan saya resign, pilar kesehatan dan pendidikanlah yang masih terus berlanjut. Beberapa karyawan dilibatkan dalam program volunteer untuk mengajar di sekolah di daerah terpencil. Ada teman saya yang mendapat lokasi di pedalaman Papua, mesti berjalan seharian dari pool kendaraan terakhir. Apakah hal ini relevan dengan core bisnis perusahaan telco?

Sepertinya apapun kegiatannya, asal bukan dilakukan oleh perusahaan yang bisnisnya masih menjadi pro dan kontra, akan lebih mudah diterima.

So, untuk case Djarum dan KPAI, akan lebih baik jika semua pihak menahan diri, cooling down. Karena semua punya pembenarannya. Asal tidak menganggap diri paling benar dan tidak  memaksakan pembenarannya ke pihak lain. Berharap pemerintah dalam hal ini lebih bijak dan solutif. Berharap kita masih menjadi negara yang layak diperhitungkan dalam dunia perbulutangkisan, apapun masalah yang dihadapi. Toh orang bijak bilang, "banyak jalan menuju Roma"


Jogja Jogja Jogja
09092019



Kemenkopolhukam, Kemenko PMK, Kemenpora, perwakilan Pemda, KONI, PBSI dan PB Djarum

Baca selengkapnya di artikel "Respons KPAI Soal PB Djarum Hentikan Audisi Atlet Bulu Tangkis 2020", https://tirto.id/ehJw
Kemenkopolhukam, Kemenko PMK, Kemenpora, perwakilan Pemda, KONI, PBSI dan PB Djarum.

Baca selengkapnya di artikel "Respons KPAI Soal PB Djarum Hentikan Audisi Atlet Bulu Tangkis 2020", https://tirto.id/ehJw
Kemenkopolhukam, Kemenko PMK, Kemenpora, perwakilan Pemda, KONI, PBSI dan PB Djarum.

Baca selengkapnya di artikel "Respons KPAI Soal PB Djarum Hentikan Audisi Atlet Bulu Tangkis 2020", https://tirto.id/ehJw
Kemenkopolhukam, Kemenko PMK, Kemenpora, perwakilan Pemda, KONI, PBSI dan PB Djarum.

Baca selengkapnya di artikel "Respons KPAI Soal PB Djarum Hentikan Audisi Atlet Bulu Tangkis 2020", https://tirto.id/ehJw



Komentar

Postingan Populer