Malam Satu Suro di Gunung Sumbing 3371 Mdpl

Malam ini, malam satu suro

Malam yang konon, sakral dan mistis

Pernah suatu waktu, pas jiwa muda masih menggelegak ( cieehh ), pas lagi gandrung berat sama naik gunung, nggak peduli malam satu suro, malam apapun, yang penting besoknya libur..langsung cuuusss angkat carrier

Begitu juga hari itu
Malam 1 Suro di tahun itu

Berenam, kami tiba - tiba udah ngejogrok di basecamp Sumbing di Garung. Di sore yang dingin. Dan sialnya saya tiba - tiba mens setibanya di basecamp. Otomatis melewatkan sholat. Sementara dengan pengalaman mendaki Sumbing untuk kesekian kali, dan kesekian kalinya belum pernah nyampai puncak karena satu dan lain hal, saya merasa penting banget untuk "mendekatkan diri" pada Yang Kuasa selama berada di tempat ini

Mungkin itu pendakian keenam saya ke Sumbing. Dan memang selalu apes. Nggak pernah "muncak". Pernah hanya muter muter di hutan bambu di kakinya, dari jam 21.00 sampai 03.00 shubuh, hingga akhirnya menyerah dan balik kanan. Pernah badai besar menghalangi. Pernah harus turun karena kondisi teman seperjalanan yang tidak memungkinkan.

Kali ini dengan tekad kuat, harus "muncak". Meskipun akhirnya ragu karena mens yang tiba - tiba nongol itu

Kami berenam, 3 cewek ( saya, Mela dan Anis ), 2 cowok ( Bang Wek dan Aris ), 1 setengah cow cew hehehhe kidding..( Mas Nomo )

Saya dan Mela, udah sering naik bareng. Anis belum pernah sama sekali. Aris dan Bang Wek udah expert banget. Mas Nomo, udah akrab juga dengan perjalanan ke gunung. Kami menjulukinya Si Radio karena pembawaannya yang humoris dan suka ngomong apa aja sepanjang jalan. Udah gitu, bawa bekalnya paling banyak dan nggak pelit. Maklum hanya dia yang udah kerja di antara kami semua waktu itu. Dan dia anak ibu kos saya, so, urusan izin dengan ibu kos dijamin beres kalau perginya bareng dia.

 Jadi bagi kami, team kami relatif "aman". Potensi "pasien" kemungkinan hanya satu, Anis saja

Perjalanan naik relatif lancar. Dari desa terakhir, ada jembatan dari anyaman bambu yang berada tepat di samping pipa air. Melewati hutan bambu dan memasuki kawasan ladang. Hingga masuk vegatasi hutan dan mulai menanjak ke lokasi edelweis. Artinya puncak sudah tidak jauh

Entah kenapa, saya cek cok dengan Bang Wek dalam perjalanan ke puncak. Oiya, perjalanan ke puncak hanya diteruskan kami bertiga, saya, Bang Wek dan Mela yang juga penasaran seperti saya, belum pernah nyampai puncak. Diantara kami bertiga, hanya Bang Wek yang pernah. Aris dan Mas Nomo sudah pernah, sehingga mereka mengalah menunggui Anis di vegetasi edelweis karena sudah tidak sanggup

Puncak percecokan adalah saya memutuskan turun, meninggalkan Mela dan Bang Wek. Beberapa waktu saya jalan sendiri di jalur bebatuan, menuruni jalan terjal. Tidak sengaja mata saya melihat ke atas, ke bukit bebatuan di sepanjang jalur. Hingga melihat sosok seperti pertapa, bertelanjang dada, berkalung batuan bulat, berambut panjang, berkumis putih. Duduk bersila di atas batu di cekungan bukit seperti goa. Memandang tajam ke arah saya yang berjalan sendiri.

Deg. Berdebar dan sejenak tidak tahu harus lanjut turun atau balik naik lagi menyusul Mela dan Bang Wek

Untung tak berapa lama, ada langkah di belakang saya. Rupanya Mela menyusul saya turun. Diikuti Bang Wek. Kami bertiga melanjutkan perjalanan turun. Saya tidak membahas penampakan pertapa tadi. Hari itu, tidak ada satupun dari kami berenam yang menuntaskan misi sampai puncak. Lagi - lagi tidak berhasil

Hingga lengkap berenam kami lanjut turun sore itu. Seperti perjalanan saya sebelum - sebelumnya, saya selalu menempati posisi sweeper, alias paling belakang, si tukang sapu. Memastikan semua team sudah lengkap dalam rombongan. Mungkin karena saya tomboi pada jaman itu dan badan saya yang besar. Atau karena udah dianggap cowok hehehe

Entah, saya menikmati aja posisi tersebut, tidak mempermasalahkannya. Di posisi depan ada Bang Wek, yang selalu jadi leader. Kebetulan dia adalah ketua divisi mountaineering di mapala kampusnya. Sehingga untuk perjalanan dengannya, selalu kami tempatkan sebagai leader

Tiba - tiba, Aris yang jalan di depan saya, menengok ke belakang, ke saya. " Ada apa, Day. Kok njawil2" tanyanya.
"eehh..siapa lagi njawil2 kamu" kataku

Ssstt..langsung serombongan tidak ada yang bersuara. Senyap. Hanya langkah kaki kami yang semakin cepat karena hari semakin gelap. Maghrib sudah lama meninggalkan kami

Kami terus berjalan, hingga akhirnya tiba di hutan bambu setelah perjalanan yang kami rasa lebih lama dari seharusnya.

Langsung lega karena artinya sudah tidak lama lagi akan nyampai perkampungan

Tapi

Jembatan bambunya tidak ada. Saya, Aris, Mas Nomo dan Bang Wek yang udah beberapa kali ke Sumbing, yakin sekali kami melewati jalur yang benar. Dan makin yakin melihat pipa air yang melintang melintasi sungai menuju perkampungan.

Tapi kemana jembatannya? Seharusnya ada di samping pipa air itu. Tanpa jembatan itu, mustahil kami bisa sampai basecamp yang berada di perkampungan terakhir sebelum hutan bambu.

Tiba - tiba Mas Nomo berteriak, "Ada kampung di sana" katanya sambil menunjuk ke arah yang setahu kami adalah area yang semakin masuk ke dalam hutan bambu ( yang saya pernah kesasar 7 jam di sana ).

Well okay, mungkin sejalan waktu, ada kampung di sana, pikir kami. Lantas kami berenam berjalan menyeberangi sungai ke arah kelap kelip lampu serupa kampung tersebut. Semakin dekat, tiba - tiba semua gelap, nyala lampu yang kami datangi, menghilang. Mas Nomo dan Mela sempat melihat ada bayangan orang ketika kami menyeberangi sungai

hmmm..okay, langsung kami balik badan menuju pipa air yang kami yakini sebagai jalur yang benar menuju kampung. Menuju kesana, kami melihat ada bangunan kosong, dengan nyala lampu benderang, tanpa daun pintu dan jendela. Agak heran karena seharusnya tidak ada listrik di sekitar hutan bambu tersebut. Bagi saya bangunan ini seperti familiar, bentuknya seperti gudang kayu di tepi jembatan bambu, tapi seharusnya bangunan tersebut gelap, penuh kayu dan berada di seberang jembatan, di sisi kampung. Bukan di sisi hutan

well, tambah bingung dan panik

Yang bisa melihat bangunan terang benderang itu, saya dan Bang Wek

Dalam kepanikan, Bang Wek mengumpulkan kami berenam. Dalam posisi melingkar, berpegangan tangan, kami berdoa menurut agama dan kepercayaan kami. Dengan niat tulus dan permohonan maaf jika kami tidak sengaja sudah menganggu, namun sama sekali bukan niat kami untuk seperti itu

Begitu kami selesai berdoa, membuka mata, boleh percaya boleh tidak, jembatan bambu yang semula hilang, sudah ada di depan kami, di samping pipa air.

Bangunan terang benderang tiba - tiba lenyap

Dalam diam namun kami yakin kami semua riuh berdoa dalam hati, kami menyusuri jalan tersisa. Menuju basecamp. Jam sudah lewat tengah malam ketika kami sujud syukur di basecamp.

Dan baru sadar ternyata malam itu malam 1 Suro

Kapok?
Mela iya, dia sama sekali nggak mau ke Sumbing setelah kejadian itu
Saya? tetep masih kesana lagi satu kali dan akhirnya bisa sampai puncak, berdua dengan Bang Wek, dengan perjalanan turun tinggal kami berdua karena terjebak badai yang dinginnya membuat kulit kami berlapis es

Oiya, tentang pertapa itu, Mela dan Bang Wek, katanya nggak ngeliat. Wew..mungkin saya berhalusinasi

Dan satu hal, mungkin kami over pede, terlalu menganggap enteng, karena sudah sering kesitu ( kecuali Anis ), sehingga akhirnya "dikerjain". Alhamdulillah masih bisa selamat
 

Suwun Sumbing, see u again yaks


Jogja
Malam 1 Suro 2019

foto : www.gunungbagging.com











Komentar

Postingan Populer