Soto Garingan, A Memorial for Bu Yati

Membicarakan Delanggu, sebuah kota kecamatan di Klaten, tak lengkap jika tak menyebut Soto Bu Yati. Soto yang menjadi klangenan warga Delanggu yang merantau maupun yang masih tinggal di sekitar Delanggu. Group komunikasi facebook warga Delanggu yang beranggotakan 25 ribuan member yang tersebar di seluruh Indonesia, akan serentak "gayeng" jika ada unggahan terkait kuliner ini, apalagi menu khasnya, soto garingan. Pun group alumni sekolahan SMP saya.

Soto Garingan?

Mungkin saat ini Anda akan mengerenyitkan dahi ketika membaca tulisan ini. Soto yang identik berkuah, tiba - tiba muncul kata garingan, yang artinya kering (an ) alias tanpa kuah. Anda nggak salah dan bukan satu - satunya yang heran. Vlog beberapa akun kuliner yang pernah meliput warung ini pun kebanjiran viewer karena penasaran. Hingga mengundang media nasional seperti Trans untuk datang. Bahkan setelah tinggal maupun singgah di beberapa kota di Indonesia, rasanya kuliner ini hanya saya jumpai di sini, kota kelahiran saya ini. 

Konsepnya adalah nasi yang diberi "ubo rampe" atau kelengkapan layaknya menyiapkan soto, seperti kecambah, kol mentah, daun seledri, suwiran ayam dan bawang goreng, namun tanpa kuah. Sebagai penggantinya adalah sedikit kaldu yang mengendap di bagian atas kuah dan kecap asin serta kecap manis ( optional ) serta tambahan sambal soto jika menginginkan pedas.

Rasanya? Mmmhh jangan tanya deh..dijamin ketagihan.

Warung soto di Delanggu rata - rata paham dan mempunyai menu soto garingan ini yang kerap disingkat "toring", namun racikan toring di Soto Bu Yati adalah legenda. Ada keseimbangan antara manis, gurih kaldu dan pedas sambal. Kerenyahan sayurannya juga pas. Nih..boleh cek dulu di channel ini..Soto Garingan Bu Yati

Warung makan ini tidak jauh dari rumah ibu saya, hanya sekitar 200 meter. Jika Anda sedang menyusuri Jl Solo Jogja, warung ini terletak di kiri jalan dari arah Solo menuju Jogja. Tepatnya di belakang Toko Amalia. Ada gang selebar sekitar 3 meter di samping Toko Amalia menuju warung ini. Jika Anda bermobil, better parkirkan saja mobil Anda di depan Toko Amalia dan lanjutkan 20 meter menuju warung dengan berjalan kaki.

Tapi catat ya, warung ini hanya sampai siang hari. Paling asik kalau jam 7 pagi nongkrongnya, di samping semua masih fresh, banyak pendamping lainnya yang sayang untuk dilewatkan, seperti tempe goreng yang masih anget, bakwan sayur, lumpia, paru /belut goreng dll.

Untuk kuah, Soto Bu Yati beraliran kuah bening khas soto Klaten, dengan warna agak kekuningan karena kunyit. Anak saya yang lahir + besar di Banjarmasin dan terbiasa dengan soto Banjar yang lumayan pekat dengan susu dan rajangan telur rebus, agak kurang suka dengan versi kuah dari soto ini. Tapi doyan banget untuk toringnya dan menjadi menu wajib saat sarapan jika sedang mudik ke rumah neneknya. Mas dan mbak saya yang tinggal di luar kota, demikian juga, bahkan tak pernah alpa menyempatkan membungkus toring untuk bekal di jalan ketika kembali ke kota asal.

Dan hari ini mereka begitu kaget ketika mendapat kabar Bu Yati yang akrab kami panggil Mbak Yati telah berpulang di usianya yang ke 63 tahun. Masih cukup muda, apalagi dilihat dari penampilannya yang selalu ceria dan energik. Rasanya baru kemarin saya dilayani beliau ketika ibu menyuruh membeli soto ke pasar dengan berpesan harus di Mbak Yati. "Jangan salah warung" kata ibu. Karena saat itu, di pasar, warung soto ditempatkan dalam kumpulan kios berjajar dengan banyak sekali warung soto berkumpul menjadi satu. Apalah saya, anak bawang yang baru kelas 3 SD, melihat kios segitu banyak dengan beragam tulisan soto, kadang suka pusing hehehe

Berbekal panci putih yang cantik karena masih baru, saya bergegas ke pasar, maklum pulang sekolah, sudah lapar dan terbayang nikmatnya makan dengan soto. But karena pas jam makan siang, walhasil warung penuh. Panas, sumuk, keringetan plus liatin orang lagi makan dengan kondisi perut keroncongan itu rasanya ngenes bangeett wkwkwkw..

Tapi surprise, dari sekian banyak antrian , tiba - tiba panci putih saya langsung didahulukan.."putranya bu guru xxxx yaa...ini pancinya baru kemarin dapat arisan, saya hapal karena saya yang cari pancinya ke Solo,"kata beliau ramah sambil menaruh banyak sekali tulangan sebagai bonus. Dan saya berasa jadi orang paling beruntung dan ngetop sedunia..eh se antrian  dan langsung nyerocos cerita ke ibuk tentang kejadian panci tersebut. Masih nggak ngeh kalau mungkin ada yang menggerutu karena antriannya saya serobot. Eh bukan saya ding, panci kok yang nyerobot heheheh

BTW ngomongin soal antrian, 2 bulan lalu saya nemenin ibuk beli sarapan toring di Mbak Yati, antriannya juga ajib banget padahal masih pagi. Mmmhh keren yaa..begitu kuat brandnya, hingga tetap banyak sekali peminatnya hingga kini. Bahkan mungkin lebih tenar lagi dibanding masa ketika saya ngantri dulu saat bawa panci putih pulang sekolah.

Well, kini si ibu yang namanya diabadikan di warung sotonya telah berpulang. Turut berduka cita sedalam - dalamnya ..semoga husnul khatimah..semoga warung yang kata ibuk saya berdiri sudah lama sekali, mungkin lebih dari 50 tahun silam oleh mertua beliau, tetap menjadi ikon kuliner Kota Delanggu dan membawa rezeki bagi karyawannya, para pemasok bahan bakunya, para tetangga yang menitip dagangan, maupun bapak - bapak tukang parkirnya dan bermanfaat bagi lebih banyak lagi orang termasuk memberikan kebahagiaan bagi para penikmatnya. 

Salut dengan beliau sekeluarga yang mampu menjaga bisnis keluarga hingga tetap bertahan sekian lama dan bahkan makin berkembang seperti saat ini. Sungguh harus belajar banyak dengan warung ini soal manajemen, ilmu marketing, produk dan program retensinya sehingga mampu menarik pelanggan baru dan mempertahankan pelanggan lama agar tetap loyal, di tengah gempuran aneka kuliner baru yang menjamur.

Sugeng tindak Mbak Yati.. 

Delanggu 7 Nov 2020















Komentar

Postingan Populer